Dugaan Perundungan dan Pemerasan di PPDS Anestesi Undip, Persidangan Ungkap Fakta Baru

·

SEMARANG, FAKTIVA.TV – Persidangan lanjutan kasus dugaan perundungan dan pemerasan dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) kembali digelar di Pengadilan Negeri Semarang, Jawa Tengah, Rabu (18/6/2025). Sejumlah fakta baru terungkap dari kesaksian para mahasiswa aktif dan rekan almarhumah dr. Aulia Risma.

Salah satu saksi, Herdaru, yang merupakan teman satu angkatan dr. Aulia, mengungkap keluhan mendiang terkait beban pendidikan yang berat sejak awal masuk PPDS. Aulia, menurutnya, kerap mengeluhkan perlakuan senior serta banyaknya tugas non-akademik, mulai dari menyediakan makanan untuk senior hingga mengangkat barang-barang seperti kasur dan galon.

Disebutkan bahwa mahasiswa angkatan 77 harus menyediakan makanan hingga 80 porsi per hari dengan biaya operasional mencapai Rp 5 juta setiap harinya. Karena tidak diizinkan keluar ruangan, mahasiswa menyewa jasa kurir dan membentuk sistem kas angkatan. Setiap mahasiswa diwajibkan menyetor dana sekitar Rp 20 juta per bulan, yang dikumpulkan oleh bendahara angkatan, saat itu dijabat oleh Aulia.

Dalam kesaksian lainnya, Herdaru juga mengungkap adanya istilah “mafia” dan “helper” di lingkungan PPDS Anestesi. “Mafia” merujuk pada pihak yang dibayar untuk mengerjakan tugas akademik senior, sementara “helper” adalah mahasiswa yang bertugas membeli makanan keluar kampus. Pembayaran mereka diambil dari dana kas angkatan.

Sementara itu, residen angkatan 69, Andriani Widya Ayu Kartika, menyatakan bahwa pembayaran Biaya Operasional Pendidikan (BOP) dilakukan secara tunai dan telah menjadi tradisi sejak lama. Nilai BOP disebut-sebut mencapai Rp 80 juta per semester dan tidak tercantum dalam struktur biaya resmi pendidikan PPDS.

“Mahasiswa yang tidak membayar BOP bisa tidak diikutkan ujian,” ujar Andriani dalam kesaksiannya. Bila ditotal, beban keuangan mahasiswa dapat mencapai lebih dari Rp 100 juta per semester.

Fakta lain yang mencuat dalam sidang adalah soal beban kerja yang tinggi. Mahasiswa yang dianggap melakukan kesalahan harus menjalani tugas tambahan, seperti masuk tim jaga akhir pekan atau di instalasi gawat darurat (IGD) selama 24 jam. Saksi lainnya, dr. Deslia, mengonfirmasi bahwa sistem tersebut memang dijalankan sebagai bentuk sanksi internal.

Herdaru juga mengaku mengalami tekanan fisik dan mental yang cukup berat selama mengikuti program. Ia bahkan sempat mengambil cuti karena tidak mampu menjalani ritme kerja yang dianggap melelahkan dan tidak manusiawi.

Kasus ini masih terus bergulir dan menjadi perhatian publik, khususnya dalam konteks perlindungan mahasiswa serta pembenahan sistem pendidikan spesialis kedokteran di Indonesia.

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *