Gus Dur dan Warisan Intelektual-Kemanusiaan yang Tak Lekang Zaman

·

Dalam setiap fase penting perjalanan bangsa ini, selalu ada tokoh yang hadir bukan hanya sebagai pelaku sejarah, tetapi juga sebagai penafsir zamannya. Di antara mereka, KH. Abdurrahman Wahid, atau akrab kita kenal sebagai Gus Dur, adalah figur langka yang mewakili kebesaran intelektual, keberanian moral, dan keluhuran hati.

Gus Dur bukan sekadar Presiden ke-4 Republik Indonesia. Lebih dari itu, ia adalah jembatan antara tradisi dan modernitas, antara agama dan kebangsaan, antara minoritas dan mayoritas. Sosoknya melampaui sekat-sekat ideologis, karena dalam dirinya hidup prinsip keadilan dan kemanusiaan yang sangat dalam.

Sebagai pemimpin Nahdlatul Ulama, Gus Dur membawa pemikiran Islam ke arah yang inklusif dan ramah. Ia menolak keras segala bentuk radikalisme yang mengatasnamakan agama. “Tuhan tidak perlu dibela,” begitu salah satu kalimatnya yang paling dikenang. Bukan berarti abai terhadap keimanan, melainkan menolak kekerasan yang dilapisi oleh dalih keagamaan.

Warisan besar Gus Dur adalah keberaniannya dalam membela kaum marginal. Ia menjadi pelopor pengakuan hak-hak Tionghoa pasca-Orde Baru, mendorong rekonsiliasi dengan kelompok-kelompok yang selama ini terpinggirkan, dan menegaskan bahwa pluralisme adalah fondasi penting kebangsaan Indonesia. Dalam dunia politik yang kerap dingin dan penuh kalkulasi, Gus Dur justru tampil dengan kehangatan hati dan humor yang menyentuh akal sehat.

Kerap kali ia disalahpahami—bahkan oleh orang-orang dekatnya sendiri. Namun sejarah membuktikan bahwa banyak keputusannya yang pada akhirnya dipahami sebagai langkah strategis jangka panjang. Gus Dur adalah contoh pemimpin yang berani tidak populer demi kebenaran.

Gus Dur tidak pernah menginginkan kultus terhadap dirinya. Namun hari ini, kita menyaksikan betapa besar rasa kehilangan bangsa ini terhadap figur seperti beliau. Sosok yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara spiritual dan berani dalam hal prinsip.

Kita rindu pemimpin yang tidak takut berkata benar. Kita rindu pemimpin yang tidak menyembunyikan kemanusiaannya di balik kekuasaan. Dan kita rindu Gus Dur — tokoh yang mampu tertawa bahkan di tengah krisis, bukan karena tidak peduli, tapi karena ia yakin, dengan hati yang bersih dan pikiran yang terbuka, bangsa ini akan terus berjalan ke arah yang benar.

Di tengah gelombang intoleransi dan polarisasi saat ini, warisan pemikiran dan nilai Gus Dur seolah menjadi pelita di lorong yang gelap. Ia tidak hanya relevan, tetapi semakin penting untuk terus dihidupkan.

“Tidak penting apapun agama dan sukumu… kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak akan pernah tanya apa agamamu.” – Gus Dur

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *