Jangan Sampai Kita Generasi Terakhir yang Mengucap Syahadat

·

Warisan Terpenting Bukan Harta, Tapi Akidah: Pelajaran Abadi dari Wasiat Nabi Ya’qub
Dalam surah Al-Baqarah ayat 133, Allah SWT mengabadikan detik-detik terakhir Nabi Ya’qub ‘alaihissalam saat menjelang wafat. Pada momen paling kritis itu, sang Nabi tidak menanyai anak-anaknya tentang harta, kebun, atau warisan materi apa pun. Yang beliau khawatirkan adalah warisan iman dan keyakinan kepada Allah SWT yang kelak akan mereka pegang setelah dirinya tiada.

Al-Qur’an mengisahkan:

“Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut; ketika ia berkata kepada anak-anaknya, ‘Apa yang kamu sembah sepeninggalku?’ Mereka menjawab, ‘Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu Ibrahim, Ismail, dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa, dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.’” (QS. Al-Baqarah: 133)

(QS. Al-Baqarah: 133)

Inilah prioritas utama yang semestinya menjadi perhatian setiap orang tua Muslim. Sebab, urusan rezeki, nasib hidup, bahkan ajal anak-anak kita, semua telah ditetapkan Allah sejak mereka masih dalam kandungan, sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih riwayat Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud.

Namun, iman dan akidah mereka — keyakinan mereka kepada Allah, Rasul-Nya, dan ajaran Islam — tidak dijamin. Tidak ada jaminan anak seorang alim akan menjadi alim, atau putra seorang Nabi akan beriman. Bahkan, Nabi Nuh memiliki anak yang kafir, dan Nabi Luth memiliki istri yang ingkar.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam pun pernah menegaskan, saat berdiri di Bukit Shafa:

“Wahai Bani Abdi Manaf, wahai Bani Abdul Muthalib, belilah diri kalian dari Allah! Wahai Fatimah binti Muhammad, mintalah hartaku sesukamu, tetapi aku tak bisa menjamin keselamatanmu dari Allah sedikit pun.”

(HR. Bukhari-Muslim)

Maka, kisah Nabi Ya’qub bukan sekadar sejarah, tapi pelajaran hidup. Sebab, zaman kini pun umat Islam menghadapi ancaman luar biasa dari berbagai ideologi sekuler, liberal, hingga ghazwul fikri (perang pemikiran) yang secara masif menyasar akidah anak-anak muda.

Andalusia adalah contoh paling nyata dan memilukan. Negeri yang dulu begitu gemilang dengan ulama-ulama besar seperti Imam Al-Qurthubi, Ibnu Hazm, dan Ibnu Khaldun, kini hanya menyisakan bangunan kosong, masjid yang jadi gereja, dan monumen tanpa umat Islam di dalamnya. Semua itu terjadi karena satu generasi lengah mewariskan akidah.

Bila kita abai, jangan kaget bila beberapa dekade ke depan, anak-anak kita tak lagi mengenal adzan, masjid kosong, dan syariat dianggap asing. Sebab itu, para sahabat Nabi dahulu sangat serius soal pewarisan akidah.

Dikisahkan dalam riwayat Al-Baihaqi, suatu hari ‘Amr bin ‘Ash melihat sekelompok halaqah ilmu di dekat Ka’bah, tapi anak-anak dijauhkan. Ia berkata:
“Jangan jauhkan mereka. Lapangkan tempat, biarkan mereka mendengar hadits. Sebab, hari ini mereka orang termuda di kaum ini, besok mereka akan jadi yang tertua bagi kaum lainnya.”

Inilah pentingnya menjaga generasi, mendidik anak bukan sekadar dengan ilmu dunia, tapi akidah dan kecintaan kepada Islam. Karena jika itu hilang, harta, jabatan, dan prestasi takkan menyelamatkan siapa pun di akhirat.

Warisan terbesar bukan rumah, emas, atau kebun, tapi tauhid yang kokoh. Dan kewajiban kita adalah meneruskan tongkat estafet risalah ini, agar azan tetap berkumandang, syahadat tetap diucap, dan Islam tetap tegak di bumi kita.

Wallahu a’lam.

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *