Serangan bertubi-tubi terhadap Zohran Mamdani, anggota Dewan Perwakilan Rakyat New York sekaligus kandidat Wali Kota dari Partai Demokrat, memperlihatkan bahwa politik Amerika Serikat belum sepenuhnya lepas dari cengkeraman rasisme, Islamofobia, dan politik kebencian. Kemenangan mengejutkan Mamdani atas mantan Gubernur Andrew Cuomo dalam pemilihan pendahuluan menjadi pemantik munculnya ujaran-ujaran bernada diskriminatif yang sungguh memprihatinkan.
Pernyataan Presiden Donald Trump melalui Truth Social yang mengancam memotong dana federal untuk Kota New York jika Mamdani terpilih hanyalah puncak gunung es dari atmosfer intoleransi yang selama ini terpendam di tubuh politik Amerika. Serangan verbal bahkan sampai ke level ancaman 9/11 yang dilontarkan oleh beberapa tokoh konservatif radikal seperti Laura Loomer dan Marjorie Taylor Greene, jelas-jelas melanggar nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan.
Mamdani, seorang Muslim keturunan India, berdiri teguh di tengah gempuran fitnah dan ujaran kebencian tersebut. Ia menegaskan dirinya bukan seorang komunis seperti yang dituduhkan, melainkan seorang politisi progresif yang memperjuangkan keadilan ekonomi bagi warga New York. Usulannya untuk menaikkan pajak bagi kalangan miliarder dan mengurangi beban warga kelas menengah bawah, merupakan isu substansial yang patutnya diperdebatkan secara sehat di ruang demokrasi — bukan diseret ke ranah identitas dan agama.
Sikap beberapa anggota Kongres Muslim Amerika seperti Ilhan Omar, Rashida Tlaib, André Carson, dan Lateefah Simon yang kompak membela Mamdani, patut diapresiasi. Mereka menunjukkan bahwa politik identitas berbasis kebencian harus dilawan dengan solidaritas dan prinsip-prinsip keadilan sosial.
Ironisnya, ketakutan yang ditunjukkan oleh sebagian politisi Demokrat moderat terhadap Mamdani justru memperlihatkan resistensi terhadap arus perubahan. Zohran Mamdani mewakili suara baru dari kelompok muda, multikultural, dan progresif yang selama ini terpinggirkan. Jika kemenangan Mamdani dianggap ancaman, justru di situlah wajah demokrasi Amerika sedang diuji.
Demokrasi seharusnya memberi ruang bagi keberagaman ide dan latar belakang, bukan malah menjadi alat bagi kelompok mayoritas untuk mempertahankan dominasi lewat stigma dan ancaman. Amerika tidak boleh kembali ke masa di mana seseorang dinilai dari ras, agama, atau asal-usulnya. Kini, saatnya perdebatan diarahkan pada substansi kebijakan dan visi masa depan kota, bukan pada warna kulit atau kepercayaan seseorang.
Seperti kata Martin Luther King Jr., “Keadilan di mana pun adalah ancaman bagi keadilan di mana-mana.” Serangan kepada Mamdani bukan hanya soal dirinya pribadi, tapi ancaman bagi prinsip demokrasi yang seharusnya berdiri untuk semua, tanpa kecuali.
Kebencian Rasial di Balik Dinamika Politik New York, Demokrasi Harus Lebih Kuat dari Ujaran Kebencian
·

Leave a Reply