Melihat Dunia dengan Kacamata Islam di Tengah Arus Pemikiran Global

·

Dalam perjalanan sejarah manusia, sudut pandang seseorang terhadap suatu peristiwa atau fakta sangat ditentukan oleh nilai-nilai yang diyakininya. Itulah sebabnya, dua orang bisa menyaksikan hal yang sama, namun kesimpulan dan responsnya sangat berbeda. Kisah berikut menjadi contoh menarik betapa worldview atau cara pandang memainkan peran penting dalam menilai realitas dunia.

Salah satu kisah klasik datang dari Marco Polo (1254–1324), seorang penjelajah asal Venesia yang melakukan ekspedisi panjang ke Asia. Dalam perjalanannya dari Cina ke India, Marco Polo sempat singgah di suatu daerah yang ia sebut “Basman”. Ada dugaan kuat bahwa Basman ini merujuk pada suatu kawasan di Sumatera atau Jawa bagian barat.

Di tempat itu, Marco Polo dibuat terkejut saat bertemu spesies hewan yang belum pernah dilihatnya seumur hidup: seekor badak bercula satu. Namun menariknya, Marco Polo malah menyebut hewan itu sebagai unicorn, makhluk legendaris dalam mitologi Eropa yang konon berupa kuda putih bertanduk satu di keningnya.

Dalam catatan hariannya, Marco Polo menulis:

“Unicorn itu, ukurannya jarang lebih kecil dari gajah. Rambutnya mirip rambut kerbau, tanduk hitam tunggal di tengah jidat. Mereka menyerang bukan dengan tanduk, tapi dengan lidah dan lutut yang dipenuhi duri panjang dan tajam. Bentuknya buruk dan sama sekali tidak mirip dengan gambaran yang selama ini kami yakini tentang unicorn yang jinak dan didekati oleh para bidadari.”

Fakta yang sama, ternyata bisa dipersepsi sangat berbeda tergantung sudut pandang seseorang.
Contoh serupa terjadi berabad-abad kemudian. Sejumlah da’i Indonesia diutus untuk berdakwah ke Amerika. Sebagian dari mereka sempat terbuai oleh gambaran di media tentang Amerika: negeri maju, indah, modern, dan sejahtera. Namun begitu tiba dan menyaksikan langsung realitas sosialnya, mereka justru menangis. Bukan karena kagum, tetapi karena iba.

Di balik megahnya gedung-gedung pencakar langit dan kemewahan materi, mereka menyaksikan bangsa yang jauh dari syukur kepada Allah. Para da’i itu merenung:
“Kasihan sekali bangsa ini. Dengan limpahan nikmat Allah sedemikian besar, seharusnya mereka lebih mudah bersyukur dan tunduk kepada-Nya. Betapa berat hisab mereka kelak di hadapan Allah.”
Dua kisah itu mengajarkan satu hal penting: bahwa akidah, keyakinan, dan worldview seseorang akan memengaruhi cara dia menilai segala hal di dunia ini. Bagi seorang muslim, standar itu adalah syahadat dan rukun iman yang enam. Di atas fondasi itulah seluruh perasaan, pikiran, perkataan, tindakan, dan penilaian harus dibangun.

Akidah sendiri, secara bahasa bermakna “ikatan kuat”. Dalam Islam, ia adalah keterikatan total hati dan jiwa seorang muslim terhadap nilai-nilai tauhid. Akidah bukan membelenggu, tetapi justru memberi arah hidup yang lurus. Maka tak heran, orang beriman akan menilai dunia dan peristiwa-peristiwanya secara berbeda dibanding mereka yang tidak beriman.

Sayangnya di era globalisasi saat ini, banyak orang tanpa sadar dibentuk oleh informasi media, film, dan literatur yang sarat muatan ideologi tertentu. Sejarah, budaya, bahkan istilah keagamaan pun dimanipulasi. Contohnya:

  • Dalam buku-buku sejarah sekolah, nama Fir’aun diagungkan sebagai raja Mesir kuno yang hebat, tapi tanpa menyebutkan kekejamannya seperti yang berkali-kali ditegaskan dalam Al-Qur’an.
  • Istilah pelacur dan pezina dipoles jadi PSK atau pramunikmat, seakan itu profesi legal dan terhormat.
  • Istana-istana peninggalan kolonial di Belanda dan Inggris dipuja karena keindahannya, tanpa mengenang darah bangsa jajahan yang mengalir demi membangun kemewahan itu.

Inilah inti dari perang pemikiran (ghazwul fikri) yang tengah berlangsung. Musuh-musuh Islam berusaha mengaburkan cara berpikir kaum muslimin agar mencintai dunia dan melupakan akhirat, memuja materialisme dan menanggalkan akidah tauhid.

Al-Qur’an sudah memberi banyak contoh tentang pentingnya cara pandang ini. Allah berulang kali mengingatkan umat Islam agar belajar dari kehancuran bangsa-bangsa terdahulu seperti kaum ‘Ad, Tsamud, dan Mesir kuno. Bukan agar mengagumi peninggalannya, melainkan agar mengambil pelajaran.

Firman Allah

“Maka tidakkah menjadi petunjuk bagi mereka, berapa banyaknya Kami telah membinasakan umat-umat sebelum mereka, padahal mereka biasa berjalan di (bekas-bekas) tempat tinggal umat-umat itu? Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal.”

(QS. Thaha: 128)

Sudut pandang itulah yang membedakan seorang muslim. Bukan karena ia membenci kemajuan dunia, melainkan karena ia tahu bahwa dunia hanya sementara, dan semua kemewahan tanpa tauhid adalah sia-sia.

Akhirnya, persoalannya bukan tentang apa yang kita lihat, tetapi dari mana kita melihatnya. Sebab sudut pandang yang dibangun di atas akidah akan membuat seseorang jernih menilai mana haq dan mana batil, mana jalan lurus dan mana kesesatan, di tengah hingar-bingar dunia.

Pertanyaannya: seberapa siapkah kita menjaga cara pandang Islami ini di tengah arus global?

Wallahu a’lam

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *